Dampak pandemi Covid-19 terhadap sektor ekonomi dan bisnis sangat dalam, karena pandemi ini telah menghancurkan sisi terpenting ekonomi yaitu suplly (penawaran) dan juga demand (permintaan). Berbagai sektor pun mengalami dampak, termasuk Usaha Menengah Kecil dan Mikro (UMKM).
Saat krisis ekonomi 1998, UMKM berperan sebagai penyelamat ekonomi nasional, karena di tengah banyaknya industri berjatuhan, ekspor UMKM justru naik berlipat-lipat dengan keuntungan yang tinggi, sejalan dengan tingginya kurs dolar Amerika Serikat terhadap rupiah pada saat itu. Namun, kini dengan adanya Covid-19 di hampir seluruh negara membuat siapa pun tidak dapat menghindar dari dampaknya. Bahkan dampak pandemi terhadap UMKM diyakini lebih besar karena tingginya tingkat kerentanan dan minimnya ketahanan akibat keterbatasan likuiditas, supplier, dan opsi dalam merombak model bisnis.
Dari sisi supply, banyak UMKM mengalami pengurangan aktivitas dikarenakan adanya kebijakan pembatasan interaksi sosial yang berujung pada terhentinya proses produksi. Dari sisi demand, berkurangnya permintaan atas barang dan jasa mengakibatkan banyak UMKM yang tidak dapat memaksimalkan keuntungan, sehingga menyebabkan berkurangnya likuiditas perusahaan.
Terganggunya sektor UMKM itu harus diwaspadai karena akan menimbulkan dampak lebih buruk bagi perekonomian nasional. Sebab, sejauh ini UMKM mampu menyerap 96 persen tenaga kerja. Dengan serapan tenaga kerja yang begitu besar itu, maka bila sektor UMKM terganggu, akan berdampak pada banyaknya masyarakat kehilangan pendapatan, karena banyak dari perusahaan tersebut tidak dapat membayar upah mereka secara penuh. Bahkan banyak yang melakukan pemutusan hubungan kerja secara sepihak, karena sudah kehabisan napas.
Berdasarkan data Kementerian Koperasi dan UKM, sebanyak 98% usaha pada level mikro atau sekitar 63 juta terkena dampak pandemi Covid-19. Jumlahnya tentu akan membesar seiring lamanya pembatasan sosial berskala besar (PSPB) di sejumlah daerah. Bahkan, menurut catatan Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), hampir separuh UMKM di Indonesia akan bangkrut pada Desember 2020.
Kebijakan Pemerintah
Untuk menolong sektor UMKM dari terpaan pandemi Covid-19, pemerintah pun telah mengeluarkan lima skema. Pertama, Bantuan Langsung Tunai (BLT), Kartu Prakerja untuk UMKM yang masuk kategori miskin dan kelompok rentan. Kedua, pemberian insentif perpajakan bagi pelaku UMKM yang omzetnya masih di bawah Rp 4,8 miliar per tahun. Ketiga, pemberian relaksasi dan restrukturisasi kredit UMKM dengan berbagai program.
Keringanan yang diberikan antara lain dalam bentuk penundaan angsuran dan subsidi bunga penerima KUR, kredit ultra mikro, dan sebagainya. Kemudian, skema keempat memperluas pembiayaan bagi 23 juta UMKM berupa stimulus bantuan modal kerja darurat. Dan kelima, menjadikan kementerian/lembaga/BUMN dan pemda sebagai penopang dalam ekosistem usaha UMKM terutama dalam tahap awal pemulihan.
Kita tidak meragukan iktikad baik dan kerja keras pemerintah dalam menyelamatkan sektor UMKM dari dampak pandemi melalui berbagai kebijakan tersebut. Mengingat salah satu program strategis pemerintahan periode kedua Presiden Joko Widodo adalah pemberdayaan UMKM. Tinggal bagaimana implementasinya di lapangan agar sesuai dengan harapan. Hal terpenting yang perlu diperhatikan dalam implementasi kebijakan tersebut adalah ketepatan sasaran.
Relaksasi yang diberikan kepada UMKM sesuai dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) 11/2020 tentang Stimulus Perekonomian Nasional harus dipastikan jatuh kepada UMKM, bukan malah jatuh pada para pengusaha besar. Ini perlu diperhatikan, mengingat selama ini pengusaha besar lebih berpeluang mengakses relaksasi dari perbankan karena memiliki kedekatan yang baik dengan pihak perbankan. Apalagi, perbankan kerap menginginkan pinjaman kredit yang jauh lebih besar untuk menjaga likuiditasnya dengan jaminan kredit yang mungkin lebih baik dibandingkan dengan pemberian kredit bagi UMKM.
Selain itu, perlu pula kesungguhan pemerintah untuk melakukan pembinaan agar makin banyak UMKM mampu terhubung dengan ekosistem digital. Mengingat mereka yang berhasil tumbuh dengan baik di masa pandemi ini adalah yang sudah terhubung ke dalam ekosistem bisnis digital. Adanya program pembinaan ini sangat penting, karena sudah saatnya UMKM mengerti digitalisasi, seperti program pemasaran online, apalagi di masa pandemi yang menghendaki pembatasan interaksi sosial secara langsung.
Namun upaya mengintegrasikan UMKM dengan ekosistem digital itu memerlukan waktu yang tidak singkat, perlu kebertahapan. Mengingat sampai saat ini, UMKM yang sudah terhubung dengan ekosistem digital baru 13 persen atau sekitar 8 jutaan, sehingga 87 persen masih offline. Untuk memaksimalkan hasil, pemerintah dalam hal ini perlu menggandeng berbagai pihak termasuk marketplace yang ada di Indonesia dan lembaga lainnya untuk menyiapkan UMKM go digital.
Di masa pandemi ini, menjadi sebuah keharusan bagi pemerintah untuk terus menjaga sektor UMKM dari keterpurukan yang makin dalam, dengan berbagai instrumen kebijakan. Sehingga UMKM dapat berjalan dengan baik dan menghindari terjadinya PHK. Sudah saatnya UMKM mendapatkan prioritas, di masa pandemi ini, karena merupakan penopang perekonomian nasional dan berasa besar dalam menyerap tenaga kerja. Sehingga, dengan membantu UMKM, maka perekonomian nasional akan membaik dan tingkat pengangguran akan berkurang.
Ade Wiharsopeneliti inMind Institute